Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan (Ar-Rahman)
Perjalanan saya kali ini terbilang istimewa karena untuk kedua kalinya saya akan menginjakkan kaki ke Tanah Suci, untuk suatu ibadah yang lebih spesial daripada sebelumnya yaitu ibadah Haji.
Saat saya memutuskan untuk mendaftar haji di akhir 2010, terus terang rasanya tidak bisa dilukiskan secara gamblang. Kata orang, menunaikan ibadah haji itu beda dengan ibadah umroh. Ujiannya lebih dahsyat katanya. Itu kenapa ibadah haji diletakkan di Rukun Islam ke-5: menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Kalau sebagian orang mungkin mengaitkan kalimat tersebut dengan harta, namun sebenarnya harus mampu secara hati, batin, mental..berlimpah harta kesabaran dan keikhlasan.
Saat saya mendapatkan kepastian untuk berangkat tahun 2012, rasanya campur aduk. Bahagia, khawatir, panik, dll. Bahagia karena akhirnya doa saya terkabul, Allah memberikan izin disaat berjuta-juta orang di Indonesia masih dalam waiting list. Panik karena bingung mengingat saya bekerja di pedalaman Riau dan saya terdaftar di Jakarta. Bagaimana caranya mengikuti proses manasik dan membereskan administrasi sebelum keberangkatan? Walau saya akan pergi dengan ibu saya yang sudah pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya, tetap saja seperti ada yang kurang. Khawatir karena kondisi kesehatan saya sudah tidak fit seperti waktu pergi umroh di 2007 lalu. Sebagai penderita diabetes type 2, saya hanya bisa berdoa semoga Allah menjaga saya. Fire drill dari lantai 13 saja sudah membuat saya hipoglikemia, bagaimana dengan ibadah haji yang bisa dibilang ibadah fisik dan memakan waktu sebulan penuh. Makin dipikirin, makin dicari jalan keluarnya, saya malah jadi makin bingung.
Saya selalu percaya Allah itu Maha Baik, arsitek kehidupan paling juara, selalu punya kejutan, dan selalu paling tahu apa yang terbaik walau itu bukan yang diinginkan hamba-Nya. Saya selalu yakin Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Kejutan pertama adalah kepindahan saya ke Jakarta. Setelah sekian lama mengajukan diri untuk dipindahkan dari pedalaman Riau ke Jakarta, Allah memberikan hadiah tersebut tepat di hari ulang tahun saya. Kepastian kepindahan tersebut menjadi hadiah terindah sepanjang hidup saya. Saya akan memulai bekerja di Jakarta awal Agustus 2012, 2 bulan sebelum keberangkatan saya ke Tanah Suci. Alhamdulillah saya bisa mengikuti proses manasik dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan lancar.
Kejutan kedua datang dari travel haji yang saya ikuti. Entah bagaimana ternyata segala sesuatunya tidak sesuai dengan yang saya harapkan (saya tidak akan menceritakan bagaimana buruknya pelayanan mereka). Kata teman saya yang psikolog, saya itu perfeksionis, cenderung obsessive compulsive (terutama dalam hal kebersihan — terlalu menyelami makna “kebersihan sebagian dari iman” katanya). Belum berangkat saja sudah kacau, bagaimana disana? Ibu saya selalu bilang, ikhlaskan saja, segala sesuatunya Insya Allah akan baik-baik saja, niat kita baik, Allah akan selalu jaga kita.
Ibadah haji itu ibadah fisik, jika ada orang yang berniat menjalankan kewajiban ini di masa tuanya, saya sarankan untuk mempercepat niatnya. Lebih cepat lebih baik (bukan tagline kampanye ya). Persiapan fisik saya sebelum berangkat sudah mendekati persiapan atlet menuju olimpiade (ehm). Setengah isi koper saya adalah makanan, walau saya ikut haji plus tetap saja saya harus bawa makanan secara alergi saya berderet dan saya harus bawa cemilan untuk menghindari hipoglikemia.
Rombongan kami mendarat di Madinah dan akan tinggal disana selama seminggu lebih sebelum pindah ke Mekkah. Karena kami akan sebulan disana, saya dan ibu saya memakai prinsip hemat tenaga. Disaat jemaah lain melakukan tawaf keliling Madinah yang dipenuhi toko-toko, saya lebih baik tinggal di hotel sambil berkata dalam hati, nanti saja belanjanya kalau dapat rezeki pergi umroh lagi (aamiin). Saya cinta sekali dengan kota Madinah, hati rasanya adem sekali. Aman, tentram, damai, bersih terutama Mesjid Nabawi, cantik sekali.
Apa kabar travel haji yang tidak beres itu? Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada travel saya karena telah memberikan pelajaran hidup yang tidak akan saya lupakan. Terima kasih untuk mengajarkan saya kesabaran dan keikhlasan tingkat dewa. Terima kasih untuk menghantam sisi perfeksionis saya, terima kasih untuk terapi obsessive compulsive-nya. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian ya 🙂
Setelah 8 hari di Madinah, rombongan kami pindah ke Mekkah. Alhamdulillah saya bisa tinggal di Grand ZamZam Tower, landmark kota Mekkah, dimana terdapat jam yang disebut-sebut seharusnya menggantikan Greenwich sebagai standard waktu international karena percaya atau tidak, titik nol itu bukan di Greenwich tapi di Mekkah. Sesampainya di Mekkah, kami langsung menunaikan rangkaian umroh wajib. Tawaf dimulai jam 9, lumayan panas cuacanya. Untuk mensiasati hipoglikemia, mungkin saya sedikit dari seluruh jemaah haji yang sibuk makan permen saat tawaf. Tetap menurut saya, yang paling berat adalah Sa’i dimana jarak yang harus ditempuh adalah +/- 3.5km (7 x 500m). Saya sangat beruntung punya ibu yang super, beliau setia mendampingi saya dengan segala kekurangan saya, setia mengingatkan saya untuk makan coklat, permen dan istirahat untuk minum.
Kata orang, haji tahun 2012 adalah haji akbar dan musim haji terakhir di musim dingin. Karenanya, seantero emirat arab tumpah ruah di Tanah Suci. Kita harus datang paling tidak 2 jam sebelum waktu sholat jika ingin mendapat tempat. Keluar masjid susah ga? Banget!. Untung saja hotel saya persis didepan Masjidil Haram, jadi saya masih punya waktu untuk istirahat dan tidak perlu berjalan jauh ke penginapan (salam hormat saya untuk jemaah haji reguler yang tinggal jauh dari Mesjid, percayalah setiap langkah anda sangat berpahala).
Setelah seminggu tinggal di Mekkah, kami bersiap untuk menjalankan inti dari ibadah haji, yaitu Wukuf. Haji adalah wukuf. Tidak melaksanakan wukuf berarti hajinya tidak sah. Setelah wukuf, kami langsung menuju Masjidil Haram untuk tawaf Ifadah. Alhamdulillah kosong! Sepertinya mayoritas jemaah memilih langsung ke Mina untuk lempar jumrah. Dan hal yang paling mengkhawatirkan saya telah tiba, rangkaian lempar jumrah. Menurut info, hal terberat dalam ibadah haji adalah saat lempar jumrah. Fisik kita sudah tidak fit (terutama jemaah yang sudah ada di Tanah Suci sejak beberapa minggu yang lalu), prosesi yang 3 hari berturut-turut, lokasi yang lumayan jauh membuat saya ragu, apakah saya bisa? Sebenarnya lempar jumrah bisa diwakilkan jika kita tidak mampu. Tetapi saya berpikir sayang sekali, sekali seumur hidup, dan ternyata masih banyak orang-orang tua yang kondisi fisiknya lebih rentan dari saya punya semangat 45 untuk melakukan prosesi ini. Ibu saya punya cara unik untuk menyemangati saya, beliau selalu bilang: Anggap saja di pelataran gedung lempar jumrah itu ada tukang mie ayam, nanti abis lempar kita beli ya (peluk ibu saya!). Ransel saya selalu penuh makanan dan minuman kalau ingin pergi ke gedung pelemparan jumrah. Jarak perjalanan sekitar 1.5 jam (pulang pergi) benar-benar membuat saya terkapar tiap harinya tapi tetap semangat!.
Setiap jemaah haji pasti punya keinginan untuk menjalankan ibadah haji sesempurna mungkin, begitu juga saya. Dengan majunya teknologi kedokteran, para jemaah wanita bisa mensiasati kodrat mereka dengan meminum obat. Tapi itu tidak berlaku untuk saya, diabetes mellitus telah mengacaukan metabolisme dan hormonal saya. Dokter saya bilang lebih baik tidak menggunakan obat. Awalnya saya kecewa tapi seorang teman menasehati saya kalau Aisyah saja tidak dalam keadaan suci saat berhaji. Sekali lagi, keyakinan saya kalau Allah itu Maha Baik terjawab. Pak Kyai di rombongan saya bilang kalau itu tidak menjadi masalah. Hajinya tetap sah. Alhamdulillah. Dan sekali lagi Allah menunjukkan kuasa-Nya, justru dengan tidak mengkonsumsi obat, saya bisa dengan tenang beribadah, mengkhatamkan Al Qur’an. Justru para jemaah wanita yang menggunakan obat banyak yang mengalami masalah, jadi ragu-ragu apakah ibadahnya dilaksanakan dalam keadaan suci.
Pengalaman yang tidak terlupakan selama ibadah haji terjadi saat Tawaf Wada. Saat itu Masjidil Haram sangat penuh karena rombongan haji reguler Indonesia yang merupakan jemaah haji terbanyak sedunia, serentak melaksanakan Tawaf Ifadah saat kami harus melaksanakan Tawaf Wada. Kami sudah tidak bisa masuk Masjidil Haram, jadi Pak Kyai di rombongan kami memutuskan untuk menggantikan Tawaf Wada dengan doa saja (ini ada dalilnya loh), tapi karena sebagian jemaah tetap bersikeras melaksanakan tawaf wada jadi kami harus menunggu di pelataran mesjid. Saat itu tengah malam, anginnya dingin. Sampai di penginapan, saya pingsan karena terlalu letih. Saya sudah tidak ingat apa-apa. Sepertinya gula saya drop sampai ke titik terendah. Katanya saat itu ibu saya sudah menangis melihat kondisi saya karena hipoglikemia bisa mengakibatkan kematian. Lama kelamaan saya mendengar ibu saya memanggil nama saya berkali-kali. Suaranya jauh sekali. Saya tidak tahu saya sedang dimana. Pelan pelan saya berjuang untuk membuka mata, rasanya berat sekali. Saat itu saya berdoa untuk bisa bangun demi ibu saya. Alhamdulillah Allah masih mengizinkan saya untuk membuka mata, memberikan kesempatan saya untuk kembali melihat dunia.
Satu bulan saya di Tanah Suci, saya belajar suatu hal yang paling prinsipil kalau pemberian Allah tidak ada yang sia-sia. Allah memberikan saya anugerah penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini bisa jadi untuk menjadikan saya manusia yang lebih dekat kepada-Nya, manusia yang lebih bersyukur, manusia yang lebih menyayangi diri sendiri. Kalau dulu saya menganggap diabetes telah menghancurkan impian-impian saya, sekarang saya justru sangat berterima kasih karena Allah telah menganugerahkan penyakit ini kepada saya, penyakit yang memberikan lebih banyak manfaat daripada kemudharatan. Allah memang Maha Baik dan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya