To travel is to live

Lombok, Agustus 2008

Saya termenung memandang formulir yang diserahkan oleh petugas salah satu dive center di daerah Kuta. Formulir tersebut berisi pertanyaan mengenai riwayat kesehatan saya dan pernyataan bahwa segala resiko akan saya tanggung sendiri jika terjadi apa-apa dengan saya saat diving. Saya menyebutnya formulir pendaftaran kematian. Saat menyerahkan formulir tersebut, raut muka petugas langsung berubah dan berkata, I’m so sorry I think you can’t dive, you have diabetes, we don’t want to take the risk. Saya butuh waktu 30 menit untuk meyakinkan dia bahwa saya baik-baik saja bahkan saya sampai rela ke puskesmas terdekat untuk dites darah. Setelah itu saya dan teman-teman menuju perahu yang akan membawa kami ke tengah laut. Ternyata Tuhan hanya memberi saya kesempatan 15 menit untuk menikmati keindahan kehidupan bawah laut, tiba-tiba pandangan saya mulai kabur, jantung berdegup kencang, rasanya sebentar lagi saya pingsan. Divemaster buddy saya segera menarik saya ke permukaan untuk dievakuasi ke perahu. Ternyata saya terkena serangan hipoglikemia didasar laut, mungkin karena tekanan yang tinggi, keletihan yang berlebihan, atau kurangnya asupan sebelum diving. Setelah kejadian itu, internist saya mengeluarkan ultimatum yang melarang saya untuk diving kecuali saya memang sudah bosan hidup.

Jakarta, Mei 2008

Beberapa hari setelah ulang tahun saya, Tuhan memberikan hadiah paling berharga dalam hidup saya. Saya diberikan anugerah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan akan saya bawa sampai meninggal nanti. Saya sempat marah sama Tuhan kenapa saya, kenapa sekarang, kenapa penyakit yang sama yang telah menyebabkan ayah saya meninggal dunia di usia yang muda, 50 tahun.

Ibu saya bilang pemberian Tuhan itu tidak ada yang sia-sia. Mungkin butuh waktu 3 tahun untuk memahami arti kalimat itu, mencoba beradaptasi dengan keadaan yang baru, sampai akhirnya saya bisa hidup damai berdampingan dengan penyakit saya. Secara fisik tidak ada yang berubah dengan saya, kecuali berat badan saya sudah turun 20kg sampai detik ini, tapi penyakit ini seperti bom waktu dan punya efek domino. Walau saya selalu percaya kalau umur di tangan Tuhan dan kalau waktunya belum tiba walaupun coba-coba bunuh diri ya tidak akan mati juga, saya jadi punya resiko kena serangan jantung tiba-tiba, gagal ginjal, kaki diamputasi sampai kebutaan.

Peristiwa di Lombok menyadarkan saya kalau ternyata hidup saya sudah berubah. Tapi itu tidak menyurutkan kecintaan saya akan traveling. Saya mulai membuat bucket list tentang apa saja yang ingin saya lakukan dan tempat mana saja yang ingin saya kunjungi. Saya cuma ingin melihat dunia, menikmati ciptaan-Nya, menjalani hidup dengan bahagia, dan bermanfaat bagi sesama sampai waktu saya tiba. Seperti kata Internist saya, just enjoy your life, explore the world! *bahkan beliau selalu bertanya apa rencana traveling saya selanjutnya setiap kali check up*

Traveling survival tips 101 untuk seorang diabetesi seperti saya sebenarnya simple, just know your limit and always maintain the blood sugar. Di ransel saya selalu tersedia permen dan coklat karena saya harus selalu menjaga kestabilan gula darah saya agar tidak turun. Saya juga selalu membawa insulin kalau tiba-tiba gula darah saya naik. Dan kenapa saya selalu suka traveling, karena saat itulah saya bisa mengkonsumsi minuman manis dan es krim karena resiko terkena hipoglikemia lebih besar ketimbang hiperglikemia 🙂

Hidup saya memang sudah berubah. Saya sudah tidak boleh diving lagi, mau snorkeling pun harus makan coklat 2-3 batang. Saya sudah tidak bisa wisata kuliner dengan leluasa karena imun tubuh saya makin lama makin turun yang menyebabkan saya alergi dengan segala yang hidup di laut dan mudah keracunan makanan.  Saya menjadi terbiasa menjadi yang berjalan paling belakang karena saya menjadi cepat lelah. Saya sudah mulai menerima kalau saya sudah tidak bisa lagi melakukan aktivitas yang memicu adrenalin karena itu bisa meningkatkan kadar gula saya secara drastis. Alhamdulillah saya diberikan teman-teman traveling yang mengerti keadaan saya dan selalu memberikan dukungan untuk mewujudkan impian-impian saya. Dan saya selalu percaya kalau Tuhan itu Maha Baik dan sayang sama saya karena dengan caranya yang ajaib, Dia selalu memberikan saya kesempatan untuk melihat dunia dan merasakan warna warni kehidupan.

Terima kasih Tuhan!

Terima kasih teman-teman!

I was 26 when I was diagnosed with Diabetes and I’m grateful for that.

3 thoughts on “To travel is to live

  1. Dear Amelia,

    Sumpah, gw ga sengaja nyasar ke blog ini, gara2 searching how to go to Al Quds..
    Keren banget blog nya, bukan karena destinasi2 nya yg emang keren, tapi cerita2 nya..
    baca2 ceritanya, kayanya kita seumuran, tp kalo pengamalan travelling nya bagai bumi dan langit 🙂
    boleh minta kontak email dsb?

    Tq

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s