Ada keharuan yang menyeruak saat memasuki bangunan nan megah ini. Ia yang telah menjadi saksi bisu sebuah tragedi dahsyat, masih tetap tegak berdiri. Seperti memberi kesan bahwa ada zat Maha Kuasa yang tidak tersentuh oleh bencana di muka bumi ini. Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu dari bangunan yang selamat dari hantaman tsunami. Aliran air laut tampak membelah saat melewati masjid ini, terkesan memberi hormat kepada para malaikat penjaga. Di masjid ini, para korban yang selamat mencoba bertahan hidup dengan segenap keyakinan bahwa yang Maha Kuasa akan senantiasa bersama mereka.
Banda Aceh, 10 tahun yang lalu, gempa bumi 9.3 SR diikuti dengan tsunami setinggi 30 meter datang memberi kejutan saat penduduk kota tengah menikmati indahnya Minggu pagi yang cerah. Lebih dari 200,000 jiwa menjadi korban dalam musibah ini. Rakyat Aceh berduka, rakyat Indonesia menangis, dan segenap penduduk dunia pun terhentak. Seantero Banda Aceh hancur seketika dan hanya menyisakan sedikit kenangan bagi korban yang selamat. Hampir tidak ada yang selamat bagi penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Masjid Rahmatullah yang terletak 500m dari bibir pantai Lampuuk (Lhoknga, Aceh Besar) mungkin menjadi satu-satunya yang selamat dari terjangan tsunami.
Ada hikmah dibalik setiap musibah. Kalimat ini benar adanya. Semua elemen masyarakat Indonesia bahkan penduduk dunia, sejenak melupakan segala perbedaan demi Aceh. Pertikaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI yang telah berlangsung sejak tahun 70-an berakhir di meja perdamaian. Bencana alam gempa bumi dan tsunami telah membuat kedua belah pihak yang bertikai sepakat mengakhiri konflik yang menyisakan duka dan trauma mendalam bagi segenap rakyat Aceh. Lebih dari USD$ 7 milyar dana terkumpul dari pemerintah Indonesia, negara-negara sahabat, dan organisasi dunia untuk membangun kembali Aceh. Kontribusi mereka disimbolkan pada monumen Thanks to the world.
Sepuluh tahun telah berlalu, kenangan itu masih melekat dalam benak para korban yang selamat. Seorang ibu penjual makanan di PLTD Apung bercerita, bagaimana ia kehilangan hampir separuh dari anggota keluarganya akibat bencana ini. Hingga kini pun, ia masih trauma jika ada gempa kecil dan genangan air akibat hujan deras. Sang Ibu pun bercerita bagaimana hebatnya tsunami yang bisa membuat PLTD Apung yang berlokasi di lepas pantai Ulee Lheue dan berbobot 2600 ton terseret ke daratan hingga 5km. Sebuah kapal nelayan di kampung Lampulo bahkan terseret hingga 3km dan mendarat di rumah penduduk.
Kita mungkin tidak akan pernah mau membayangkan bagaimana rasanya berada dalam situasi 26 Desember 2014, tapi anda akan merasakan bagaimana mencekamnya hari itu jika anda memasuki Museum Tsunami Aceh. Bangunan ini dirancang oleh arsitek yang sekarang menjadi walikota Bandung, Bapak Ridwan Kamil. Pengunjung akan disambut oleh lorong sempit dan gelap dengan diapit oleh dua dinding air yang tinggi. Di dinding tersebut ada relief orang menari Saman, simbol Aceh. Bangunan ini ternyata bukan hanya sebagai museum untuk mengenang tragedi tsunami tapi juga dirancang untuk tempat perlindungan jika suatu hari terjadi bencana yang sama. Luangkan waktu untuk menyelami memorabilia, diorama, dan foto-foto yang dipajang di museum ini jika anda ingin merasakan bagaimana suasana di masa itu. Saya tidak kuasa menahan air mata saat melihat foto seorang Ibu yang menggendong anaknya yang menjadi korban. Orang tua mana pun tidak akan pernah kuat jika harus mengubur anaknya.
Para syuhada itu dimakamkan di beberapa kuburan massal, seperti di Siron dan Ulee Lheue. Hampir setiap saat, ada saja orang yang berdoa di makam tersebut, tua – muda, tampak khusyuk mendoakan kerabat. Seorang anak terlihat menangis sambil membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Adalah Bapak dan Ibu-nya yang ia doakan (ah, saya jadi ingat bapak). Mungkin ia tidak pernah ingat siapa orang tuanya karena ia masih bayi saat peristiwa terjadi. Tapi ia yakin Bapak dan Ibunya pasti akan tersenyum dari surga.
Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. Cahaya harapan itu pasti ada. Dan rakyat Aceh telah membuktikan hal tersebut. Aceh kini telah kembali, bangkit dari keterpurukan, demi masa depan yang lebih baik
More stories are illustrated in my web album “An Illustrated Journey”